Korupsi Kepala Daerah di era Otonomi Daerah

Pendahuluan

Era reformasi menjadi titik perubahan besar pada segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia, diantaranya perubahan kehidupan politik dimana telah bergesernya pola sentralisasi yang dianut pada masa orde baru menjadi desentralisasi. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Adapun tujuan desentralisasi adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melalui desentralisasi, telah terjadi penyerahan kewenangan dan pembiayaan yang sangat besar dari Pemerintah Pusat kepada Daerah. Sejak pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, sebagian tanggung jawab memajukan bangsa Negara sekarang berada ditangan pemerintah daerah. Daerah diberikan kebebasan untuk mengelola potensi yang ada di daerah masing-masing termasuk mengelola dana yang luar biasa besar. Hal ini membuat para elit politik local berlomba-lomba merebut kekuasaan di daerah baik eksekutif maupun legislatif. Bagaimana tidak, peluang emas ini mendorong motivasi para elit lokal untuk melahirkan daerah otonom baru. Data Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukan dalam kurun waktu tahun 1999 sampai tahun 2013, jumlah daerah otonom baru adalah 217 (8 Provinsi, 175 Kabupaten dan 34 Kota). Pembentukan daerah otonom yang selama ini terjadi, cenderung tidak terkendali dan hanya didorong oleh kepentingan elit politik lokal dan birokrasi.
Selain itu, perubahan kehidupan sistem politik Indonesia berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 56 ayat (1) ditegaskan bahwa :
  1. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
  2.  Menyebutkan pasangan calon sebagiamana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.  
Hal ini berarti pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui proses politik yakni pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah atau disingkat Pemilukada. Menurut Dyah Mutiarin (2011), Efek positif dari Pemilukada ini adalah masyarakat memiliki ruang demokrasi yang luas, kepala daerah memiliki legitimasi yang kuat, serta adanya platform visi misi kepala daerah yang akan menjadi landasan dasar perencanaan pembangunan di daerah.

Namun demikian, anggaran pelakasanaan pemilukada yang sekarang dibiayai oleh APBD sangat besar jumlahnya. Sebagai contoh, pada Pemilukada Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tangerang 2012 menelan anggaran Rp.60 Milyar dan Pemilukada Gubernur dan wakil Gubernur Banten 2011mencapai Rp.172 milyar. Besarnya anggaran untuk memilih pemimpin daerah melalui Pemilukada pada kenyatannya tidak berimplikasi lahirnya kepala daerah yang bersih. Data Kemendagri mencatat sepanjang 2004 hingga Mei 2013 sebanyak 291 kepala daerah terjerat kasus korupsi, dari 291, terdiri dari 21 Gubernur,  7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41 Walikota dan 20 Wakil Walikota.

Salah satu penyebab kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi adalah karena tersandera oleh besarnya modal biaya yang dikeluarkan pada saat proses pemilukada. Mulai dari uang mahar kepada partai politik agar diusung/dicalonkan, ongkos politik tim kampanye, biaya logistik kampanye, termasuk politik uang untuk membeli suara pemilih. Kepala daerah akan berpikir bagaimana caranya mengembalikan modal ditambah keuntungan. Apabila selama pencalonan dibiayai oleh sponsor (pengusaha), maka sponsor akan meminta balas jasa ditambah keuntungan, maka sasarannya adalah APBD. Selain itu, masih banyak masyarakat sebagai pemilih yang cenderung pragmatis dan transaksional, pemberian uang (money politic) oleh calon kepala daerah masih dijadikan pertimbangan dalam menentukan pilihan calon kepala daerah pada Pemilukada.

Mencermati system penyelenggaraan Negara melalui otonomi daerah yang sekarang bergulir, maka kedudukan Kepala Daerah sebagai peran sentral dalam proses pembangunan demokrasi menjadi isu yang menarik untuk dikaji. Terutama proses pembangunan demokrasi melalui Pemilukada yang masih menjadi salah satu alasan elemen masyarakat termasuk Kepala Daerah yang semakin permasif terhadap fenomena korupsi di Daerah.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar